B Sistem pemerintahan Negara RI yang ditegaskan dalam UUD 1945 B. Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPRS C. Presiden dibantu oleh Perdana Menteri Apabila DPR menganggap Presiden telah sungguh–sungguh melanggar haluan negara, DPR dapat menyampaikan memorandum (peringatan) kepada presiden atau meminta kepada MPR untuk Presidendalam menjalankan fungsinya di bantu oleh menteri menteri negara, menteri menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 17 UUD 1945), Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Baca juga : Pemerintah Pusat. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan 1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya. (2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana seperti tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tanpa ditahan, maka ia dapat Presidentidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.***) Pasal 8 (1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. ***) (2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat­lambatnya Padawaktu UUD 1945 disahkan oleh PPKI dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 baru meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh saja, sedangkan Penjelasan belum termasuk di dalamnya. yaitu : apabila Presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar ber haluan Dalam kedua kurun waktu berlakunnya UUD 1945 tersebut telah dapat dicatat dan ditarik 1 Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti : a. telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya , atau perbuatan tercela; b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. vzpDVly. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. [caption id="attachment_64463" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/admin KOMPAS"][/caption] UUD Negara memberikan jalan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya Pasal 7A dan 7B perubahan ketiga tanggal 10 Nopember 2001. Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B 1 Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 2 Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. 3 Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 4 Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. 5 Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. 6 Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. 7 Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apakah Pansus Bank Century sekarang berjalan menuju pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden? Para anggota Pansus beramai-ramai menyatakan bahwa Pansus sama sekali tidak ada maksud berjalan kesana. Tapi siapa tahu, pekerjaan politik tersebut berujung pada apa yang dipopulerkan media dengan pemakzulan? Putusan politik tidak bisa ditebak dan diterka-terka? Pagi ngomong A sore sudah berubah B. Makanya bisa dimengerti jika Bapak Presiden SBY mengumpulkan para Pejabat Tinggi Negara di Istana Presiden Bogor belum lama ini. Kiranya ada maksud mengantisipasi kalau-kalau akhirnya Pansus berjalan kearah sana. Bisa jadi tujuan akhirnya Pemberhentian Presiden/dan atau Wakil Presiden jika terbukti dari pekerjaan Pansus kasus Bank Century membuahkan hasil temuan bahwa di dalamnya terdapat tindak pidana korupsi yang melibatkan Presiden dan /atau Wakil Presiden??????. Diantara sekian alasan / dasar untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dari hasil pekerjaan politik Pansus Bank Century hanya mungkin dengan menggunakan satu alasan saja. Bilamana di dalam kebijakan Bank Century tersebut mengandung muatan tindak pidana korupsi, dan Presiden dan/atau Wakil Presiden terlibat di dalamnya. Tentu saja temuan semacam ini harus ditindak lanjuti oleh KPK. Apabila KPK mengusut dan menetapkan Ibu Sri Mulyani dan Bapak Budiono sebagai tersangka, mengajukannya ke Penuntut Umum untuk diajukan ke Pengadilan sebagai terdakwa dan kemudian diputus bersalah sampai putusan mempunyai kekuatan hukum tetap mungkin sampai tingkat kasasi. Barulah DPR punya alasan untuk mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana korupsi. Sungguh masih panjang jalannya??? Mestinya DPR tidak bisa mengajukan permintaan semacam itu tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang mempidana yang bersifat tetap karena melakukan korupsi. Mahkamah Konstitusi tidak bisa membuat putusa yang menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan korupsi tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang menghukum yang telah bersifat tetap. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memutus dan menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana tertentu termasuk korupsi, tanpa terlebih dulu ada dan didasarkan pada putusan peradilan pidana yang mempidana karena bersalah melakukan tindak pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Meskipun Pasal 7B Ayat 5 UUD Negara menyatakan bahwa "Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya ..." Kata memutuskan dalam rumusan tersebut tidak sama nilai dan artinya dengan peradilan pidana yang memutuskan tentang "keyakinan terdakwa berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan". Sifat putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat declaratoir/menyatakan saja, setelah ada putusan peradilan pidana yang menghukum. Pandangan saya itu dilihat dai sudut sistem hukum khususnya hukum pidana dan acara pidana. Pandangan seperti itulah yanglebih rasional dan sesuai sesua logika. Logikanya ialah, bila MK memang benar berhak memeriksa dan memutus dan menetapkan Presiden/Wknya telah melakukan korupsi atau kejahatan berat tertentu, sementara perkara itu kemudian bergulir ke pengadilan pidana melalui penyidikan dan penuntutan, maka sangat mungkin putusan MK yang semula menyatakan bersalah karena korupsi dapat bertentangan dengan putusan peradilan pidananya. Mengapa demikian? Karena cara-cara mengadili dan memutus di MK sangat berbeda dan bertolak belakang dengan cara pemeriksaan dan memutus di peradilan pidana. Pada peradilan pidana harus menjalankan dan tunduk pada hukum acara pidanakhususnya hukum pembuktian yang sangat ketat untuk menyatakan sesorang bersalah melakukan tindak pidana dan menjatuhka pidana. Sebaliknya MK tidak, semata-mata kekuatan politik saja. Apa jadinya jika putusan peradilan pidana membebaskan atau melepaskan dari tuntutan hukum, sementara putusan MK yang lebih dulu menyatakan Presiden/Wk bersalah melakukan korupsi. Kacaulah jadinya. Untuk menghidari keadaan yang demikian, kiranya pandangan saya dari sudut hukum pidana ada benarnya. Lagi pula, jika benar MK berwenang memutus dan menetapkan sendiri Presiden/Wknya bersalah karena korupsi, berarti UUD kita bertentangan dengan azas-azas hukum khususnya hukum pidana dan acara pidana, dimana lembaga yang berwenang menentapkan seseorang bersalah karena melakukan tindak pidana adalah lembaga peradilan pidana. Atau harus dianggap bahwa Pasal 7A adalah perkecualian. Tapi apa bisa ya, perkecualian dari UU kok ada dalam UUD. Mestinya perkecualian dari UUD itu ada dalam UU atau di bawahnya, bukan sebaliknya? Jelasnya, bahwa untuk menghentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan menggunakan alasan melakukan tindak pidana berat termasuk korupsi, tidak bisa semata-mata melalui kekuatan politik di DPR dan MPR saja, tetapi harus didahului oleh proses perkara pidana di dalam sidang peradilan pidana. Penulis tidak menghendaki menggelindingnya pengungkapan/penyelesaian kasus Bank Century menuju ke pemberhentian Presiden. Cukuplah, jika memang di dalam pengambilan kebijakan terhadap Bank Century yang bikin heboh ini sampai pada pernyataan DPR adanya kesalahan saja. Tidak perlu dilakukan pengusutan ke arah pidana, Keputusan DPR mengenai hal yang demikian merupakan pukulan yang sangat berat bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden beserta jajran kabinetnya. Siapa tahu ada menteri yang karena itu mengundurkan diri secara sukarela, meniru negara-negara maju di dunia ini. Jika terbukti benar hasil kerja Pansus berujung pada keputusan bahwa pengambilan kebijakan Bank Century meupakan kesalahan/kekeliruan yang mengandung korupsi. Jaksa Agung dapat menggunakan haknya untuk menghentikan agar keputusan yang demikian tidak menggelinding terus sampai ke penututan pidana dengan cara mendeponir atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum melalui Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004. Kiranya lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya bagi rakyat bila Presiden dan/atau Wakil Presiden ditengah jalan dihentikan. Kita mengharap DPR tidak menciptakan suatu keadaan yang memaksakan Presiden dan Wakil Presiden untuk menghadapi perkara pidana pada saat sedang menjalankan tugas jabatannya. Karena sekali terjadi akan menjadi Preseden buruk. Sabar....??? Meskipun dari sudut hukum sah-sah saja, tetapi akibat akhirnya bagi rakyat sangat tidak menguntungkan. Bilamana pemerintahan diganggu terus, pemerintahan tidak dapat focus dalam upaya menjalankan program-progamnya, yang berimbas pada rakyat seluruhnya. Keadaan yang demikian ini dapat dijadikan alasan pemerintah pada saat program mensejahterkan rakyat tidak tercapai. Demikian pendapat penulis. Kali yang lain kita ketemu lagi. H. Adami Chazawi FH UB Kampus FH UB 30 Januari 2010. Lihat Politik Selengkapnya Indonesia merupakan negara dengan sistem pemerintahan presidensial yang dipimpin oleh seorang Presiden. Sistem ini turut mempengaruhi beberapa aspek pemerintahan di Indonesia. Presiden di Indonesia dipilih sekaligus bersama Wakil Presiden melalui pemilihan umum yang berlangsung 5 tahun sekali. Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia tersebut akan menjabat selama satu periode atau 5 tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak satu kali. Berkaitan dengan masa kepemimpinan seorang presiden, tentu menarik jika membahas tentang mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia. Oleh karena itu, berikut penjelasan terkait mekanisme pemberhentian presiden di Indonesia. Sekilas tentang Sistem Pemerintahan Indonesia Indonesia dipimpin oleh seorang presiden karena menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial menunjukkan pemegang kendali dan penanggung jawab jalannya pemerintahan negara adalah presiden. Menteri akan berperan dalam membantu melaksanakan tugas Presiden di berbagai bidang yang menjadi tanggungjawabnya. Sistem pemerintahan Indonesia tersebut termaktub pada Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 UUD NRI 1945, yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Presiden Indonesia hadir sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Sebelumnya, telah diketahui bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia adalah 5 tahun. Berkaitan dengan pelengseran atau pemberhentian atau impeachment presiden, mekanisme pemberhentian tersebut tercantum pada Pasal 7A dan 7B UUD NRI 1945. Pasal 7A UUD NRI 1945 tersebut berbunyi “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Selanjutnya dapat diketahui bahwa impeachment atau pemberhentian Presiden di Indonesia melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Mahkamah Konstitusi MK, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR. Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diperjelas pada Pasal 7B ayat 1 UUD NRI 1945. Aturan ini, menyatakan bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR. Usul pemberhentian tersebut, dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK, untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang dimaksud, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat yang dimaksud, merupakan pelaksanaan fungsi Pengawasan DPR sesuai undang-undang. Berikutnya, pengajuan DPR kepada MK tersebut hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang juga dihadiri oleh sekurang-urangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. MK pun kemudian memutus perkara tersebut maksimal 90 sembilan puluh hari setelah permintaan DPR diterima oleh MK. Selanjutnya, jika MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran di atas, maka DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Kemudian, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR tersebut maksimal 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR itu harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa impeachment Presiden di Indonesia diawali dengan DPR mengajukan usulan pemberhentian ke MPR tetapi harus mengajukan permintaan terlebih dahulu ke MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR. Kemudian, MPR pun baru akan melaksanakan sidang dan memutuskan Presiden diberhentikan atau tidak. Mekanisme tersebut menunjukkan peran MPR yang kuat meskipun ada pertimbangan hukum dari hakim MK. Mekanisme ini memang sah secara yuridis, tetapi DPR hadir sebagai pemohon yang turut juga berperan dominan sebagai pemberi keputusan akhir karena MPR beranggotakan DPR sendiri. Kepentingan politik pun dapat menunggangi keputusan MPR. Seharusnya, peran MK-lah yang lebih dominan karena memberikan pertimbangan hukum yang tepat berdasarkan keilmuannya dan memberikan putusan yang dapat dipertanggungjawabkan terkait apakah Presiden melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 7A dan 7B UUD NRI 1945. Kemudian barulah keputusan terkait pemberhentian presiden dilaksanakan berdasarkan putusan tersebut. Demikian penjelasan terkait mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia. Selanjutnya dapat diketahui mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia tercantum dalam UUD NRI 1945 dan melibatkan lembaga yudikatif dan eksekutif. Namun, keputusan akhir pemberhentian Presiden ada pada MPR yang didominasi kepentingan politik bukan MK yang berdasarkan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 24/10/2022. Foto Zamachsyari/KumparanEks Wamenkumham, Denny Indrayana, mengaku sudah bersurat ke DPR untuk mendorong proses pemakzulan impeachment Presiden Jokowi. Menurut Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, hingga saat ini ia masih belum melihat surat yang dimaksud."Ya sampai sekarang saya belum pernah melihat suratnya. Sehingga kalau ada surat itu, kemudian kita mesti juga tahu suratnya ditujukan ke mana karena di DPR kan ada mekanisme-mekanisme yang ada," kata Dasco di Gedung DPR RI, Kamis 8/6.Dasco lalu diperlihatkan isi surat itu oleh wartawan yang intinya Denny Indrayana meminta DPR menggelar hak angke atas dugaan pelanggaran konstitusi oleh Jokowi terkait cawe-cawe di Pilpres."Ya dia enggak bisa dong. Ini kan dia mau suruh DPR," tutur Ketua Harian Gerindra menekankan, surat Denny harus diberikan secara resmi untuk bisa diproses hingga dibahas oleh pimpinan DPR. Sehingga, Dasco enggan menanggapi lebih jauh karena belum menerima surat yang Indrayana, kuasa hukum Gabungan Serikat Buruh Indonesia, daftarkan gugatan ke PTUN Jakarta, Rabu 1/2. Foto Thomas Bosco/kumparan"Kalau itu kemudian dimasukkan ke pimpinan DPR, tentunya surat tersebut akan dibahas di dalam bamus untuk kemudian disampaikan kepada fraksi-fraksi atau kemudian surat tersebut dimasukkan ke komisi teknis," jelas Dasco."Ya mungkin komisi teknis yang akan membahasnya dan kemudian akan diberikan informasi hasil pembahasan tersebut kepada pimpinan atau fraksi-fraksi, begitu mekanismenya. Dan sekarang saya belum lihat suratnya," Denny Indrayana, cawe-cawe yang dilakukan oleh Jokowi jelang pilpres diduga melanggar konstitusi. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, mengajak Denny mengevaluasi Pemilu 2009. Menurutnya, saat itu, terjadi juga penggunaan instrumen negara untuk menaikkan suara parpol tertentu hingga 300 dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 7B ayat 1 UUD NKRI 1945. Kenegaraan Rabu, 27 April 2022 Mekanisme Pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden Dapat bukan sih presiden diberhentikan karena sebuah kasus? Apa syarat pemberhentian kepala negara? Apakah pemberhentian itu separas dengan impeachment? MPR dapat menempohkan presiden dan wakil presiden sebelum periode jabatannya dengan persetujuan siapa? Boleh, MPR dapat memberhentikan kepala negara dan wakil presiden sebelum perian jabatannya dengan persepakatan MK yang diberikan dalam tulangtulangan putusan bahwa kepala negara dan wakil presiden telah mujarab mengerjakan pelanggaran hukum. Terbiasa diketahui, impeachment hanya merupakan sarana nan memungkinkan dilakukannya pemberhentian seorang presiden alias pejabat tinggi negara berbunga jabatannya sebelum perian jabatannya berjauhan. Dikatakan mungkin karena proses impeachment tidak rajin harus bererak dengan pemberhentian presiden atau atasan tangga negara tersebut. Penjelasan lebih lanjut bisa Anda baca ulasan di pangkal ini. Artikel di asal ini adalah pemutakhiran dari kata sandang dengan judul Mekanisme Pemecatan Presiden nan dibuat oleh Sovia Hasanah, dan dipublikasikan pertama barangkali plong Kamis, 10 November 2016. Segala apa Itu Impeachment ? Sebelum kami menjawab pertanyaan Beliau, sepan Anda catat, istilah impeachment dan pemecatan presiden ialah hal yang berlainan namun saling terkait. Achmad Roestandi internal kiat Mahkamah Konstitusi internal Interviu hal. 168 menguraikan impeachment berusul dari introduksi impeach yang intern bahasa Inggris padanan kata dengan kata accuse alias charge berarti membidas atau mendakwa. Selanjutnya dijelaskan impeachment hanya merupakan sarana nan memasrahkan kemungkinan dilakukannya pemecatan koteng presiden atau pejabat pangkat negara berpokok jabatannya sebelum masa jabatannya bererak. Dikatakan kemungkinan karena proses impeachment tidak comar harus berakhir dengan pemberhentian presiden maupun pejabat panjang negara tersebut. Achmad Roestandi peristiwa. 177 lebih lanjut menjelaskan berdasarkan Pasal 7A, 7B, dan 24C ayat 2 UUD 1945 bahwa penasihat yang dapat di-impeach adalah Kepala negara; Wakil Presiden; Kepala negara dan Wakil Kepala negara. Dalam pasal-pasal tersebut diatur mengenai mekanisme impeachment terhadap Presiden dan Wakil Kepala negara di Indonesia, yang bisa mengakibatkan pemakzulan Kepala negara tersebut. Alasan-alasan Pemecatan Presiden Adapun terkait alasan dilakukannya pemberhentian presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat “MPR”, Pasal 7A UUD 1945 mengatak ibarat berikut Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Badan legislatif Rakyat, baik apabila mujarab telah berbuat pelanggaran hukum berwujud desersi terhadap negara, penggelapan, penyuapan, delik berat lainnya, atau ulah ternoda maupun apabila terbukti enggak kembali menepati syarat sebagai Presiden dan/atau Duta Presiden. Dari bunyi pasal di atas, dapat simpulkan bahwa pencopotan presiden oleh MPR dilakukan atas usul Badan legislatif Rakyat DPR . Berlandaskan Pasal 7A UUD 1945 tersebut, Hamdan Zoelva dalam ki akal Impeachment Presiden hal. 51 mencadangkan dua alasan presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, yaitu Melakukan pelanggaran hukum berupa Penghianatan terhadap negara; Korupsi; Penyuapan; Tindak pidana berat lainnya; atau Ragam tercela. Manjur tidak lagi memenuhi syarat bak presiden. Mekanisme Pemberhentian Presiden ataupun Wakil Presiden Setelah mengerti bahwa pemberhentian kepala negara dilakukan oleh MPR, lalu pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme pencopotan tersebut? Berikut kami ringkas mekanisme pelengseran presiden dan/atau konsul presiden Usul pemecatan kepala negara dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dulu mengajukan permintaan kepada Majelis hukum Konstitusi “MK” untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden dan/ataupun duta presiden te lah berbuat pelanggaran hukum positif pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, delik berat lainnya, atau polah tercela; dan/atau pendapat bahwa presiden dan/ataupun konsul presiden lain lagi memenuhi syarat ibarat presiden dan/alias wakil kepala negara.[1] Penguraian petisi DPR kepada MK saja dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 berusul jumlah anggota DPR yang hadir n domestik sidang lengkap yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 berpunca besaran anggota DPR.[2] MK perlu memeriksa, memejahijaukan, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR mengenai premis pelanggaran oleh presiden dan/atau duta presiden tersebut paling lama 90 hari setelah aplikasi DPR itu diterima makanya MK.[3] Apabila MK memutuskan bahwa kepala negara dan/atau duta presiden terbukti mengamalkan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang lengkap untuk meneruskan usul pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR.[4] MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk membelakangkan usul DPR tersebut minimal lama 30 perian sejak MPR menerima usul tersebut.[5] Keputusan MPR atas usul pemberhentian kepala negara dan/ataupun wakil presiden harus diambil dalam berapatan paripurna MPR yang dihadiri maka dari itu sekurang-kurangnya 3/4 dari besaran anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota nan hadir, setelah presiden dan/alias wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam bersanding paripurna MPR.[6] Sehingga, bisa kita ketahui bahwa pemberhentian presiden dilakukan oleh MPR, namun dalam prosesnya melibatkan kembali peran DPR dan MK. Secara pendek, usul pelengseran presiden pertama-tama diajukan oleh DPR, yang kemudian usulan tersebut diputus terlebih silam makanya MK. Jika MK memutuskan bahwa terjadi pelanggaran hukum, barulah MPR menyelenggarakan sidang atas usul pemberhentian presiden tersebut. Jadi, MPR dapat menempohkan kepala negara dan wakil kepala negara sebelum waktu jabatannya dengan persetujuan MK yang diberikan intern buram tetapan bahwa presiden dan wakil presiden telah manjur berbuat pelanggaran hukum. Seluruh informasi hukum yang suka-suka di Balai pengobatan disiapkan semata – mata bikin tujuan pendidikan dan bersifat umum lihat Pernyataan Pembalikan selengkapnya. Untuk mendapatkan nasihat hukum istimewa terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika. Demikian jawaban dari kami, sebaiknya bermanfaat. Pangkal Hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Referensi Achmad Roestandi. Mahkamah Konstitusi internal Tanya Jawab. Jakarta Kepaniteraan Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006; Hamdan Zoelva. Impeachment Presiden. Jakarta Konstitusi Press, 2005. [2] Pasal 7B ayat 3 UUD 1945 [3] Pasal 7B ayat 4 jo. Pasal 24C ayat 2 UUD 1945 [4] Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 [5] Pasal 7B ayat 6 UUD 1945 [6] Pasal 7B ayat 7 UUD 1945 Tags Presiden Joko Widodo Foto dok. Kompas Jakarta, - Saya merenung untuk menulis artikel ini agar tulisan ini betul-betul tidak terjebak dalam kepentingan yang sangat politis. Tetap on the track bahwa pikiran ini saya tulis dengan maksud untuk kepentingan republik dan masa depannya dan ditulis dalam kerangka sebagai akademisi. Bermula dari pertanyaan apakah benar bahwa Presiden Joko Widodo telah benar-benar melakukan perbuatan yang menurut UUD 1945 dapat menyebabkan ia dapat diberhentikan sebagai Presiden? Bagaimana aturanya? Sesungguhnya, cara bernegara republik ini telah diatur dengan baik sejak 18 Agustus 1945 ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan PPK Indonesia memutuskan disahkanya UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Sejak saat itu aturan tentang apa yang harus dilakukan jika seorang Presiden melanggar konstitusi telah diatur dengan jelas, yaitu diberhentikan melalui mekanisme Sidang Istimewa MPR. Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahun 2002 pun diatur bahwa Presiden dapat diberhentikan jika melakukan penghianatan terhadap negara, korupsi, menyuap, melakukan tindak pidana berat lain, dan melakukan perbuatan tercela. Melakukan satu saja dari lima pelanggaran tersebut Presiden sesungguhnya sudah dapat diberhentikan. Tentu melalui tahapan proses mekanisme impeachment sebagaimana diatur dalam pasal 7A,7B, 24C UUD 1945. Pertanyaanya, benarkah Presiden Jokowi telah melakukan salah satu perbuatan sebagaimana yang tertuang dalam pasal tersebut? Presiden Telah Melakukan Perbuatan Tercela Sebelum mengungkap analisis tentang Presiden telah melakukan penghianatan terhadap negara, korupsi, menyuap, melakukan tindak pidana berat lain melalui sejumlah indikator, ada baiknya penulis ungkap satu saja dulu dari lima perbuatan Presiden yang menyebabkanya dapat dimakzulkan. Melakukan satu saja dari lima perbuatan yang mengakibatkan Presiden diberhentikan itu sesungguhnya sudah cukup dijadikan sebagai alasan untuk MPR memberhentikan Presiden melalui mekanisme impeachment, yaitu melakukan perbuatan tercela. Pertanyaanya apakah Jokowi telah melakukan perbuatan tercela secara terang-terangan? Saya menyimpulkan iya. Berkali-kali Presiden Jokowi melakukan perbuatan tercela dalam posisinya sebagai Presiden. Pertanyaanya apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela? Secara etimologis KBBI, 2023 disebutkan bahwa kata tercela berasal dari kata cela diartikan sebagai perbuatan hina, perbuatan aib atau sesuatu yang tidak pantas. Jadi perbuatan tercela berarti perbuatan yang tidak pantas dilakukan. Di antara perbuatan tercela yang tidak pantas dilakukan Presiden adalah mengabaikan konstitusi UUD 1945, mengabaikan lembaga negara, dan sering berbohong. Apa contoh perbuatan tercela yang mengabaikan konstitusi UUD 1945? Sebenarnya bisa ditelusuri sejak tahun 2015 ketika menaikan harga BBM dengan dasar mekanisme pasar sesuai harga minyak mentah dunia. Cara itu telah mengabaikan pasal 33 UUD 1945. Selain itu saat itu dapat dinilai telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi MK. Sebab pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi MK telah membatalkan Pasal 28 ayat 2 UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang berlaku saat itu. Pasal 28 ayat 2 UU Migas tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 yang intinya mengamanatkan cabang sumber daya alam yang penting dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. Ternyata perbuatan Jokowi yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi MK berulang kembali ketika Jokowi mengabaikan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembuat undang-undang Presiden dan DPR untuk memperbaiki UU Cipta Kerja selama 2 tahun. Presiden justru tidak memperbaiki Undang-Undang tetapi membuat Perpu Ciptaker yang isinya justru bermasalah karena merugikan buruh, petani, masyarakat desa, dan lain-lain. Jokowi sebagai Presiden telah melakukan perbuatan tercela mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi MK bahkan sekaligus tidak menghormati MK sebagai lembaga negara. Diantara perbuatan tercela lainya yang dilakukan Presiden Jokowi adalah berbohong. Dalam terminologi agama maupun hukum positif berbohong adalah perbuatan tercela. Saking tercelanya bahkan kepada saksi di pengadilan yang berbohong dapat dipidana penjara hingga sembilan tahun. Pertanyaanya dimana letak Presiden Jokowi berbohong? Mari kita cermati secara seksama, obyektif dan penuh kesabaran. Presiden Jokowi dalam catatan saya telah melakukan perbuatan tercela berbohong dalam posisinya sebagai Presiden. Ini data empiriknya. Pada tanggal 17 November 2020 Jokowi mengatakan dalam siaran salah satu televisi swasta bahwa UU Ciptaker adalah inisiatif pemerintah, karena itu tidak akan mengeluarkan Perpu. Tetapi, pada tanggal 30 Desember 2022 Presiden Jokowi menerbitkan Perpu No 2 tentang Cipta Kerja. Data peristiwa itu secara terang menunjukan perilaku berbohong Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden. Bohong apa lagi? Pada tanggal 15 September 2015 Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden mengatakan "Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis". Tetapi, kemudian pada tanggal 6 Oktober 2021 Jokowi sebagai Presiden resmi meneken Peraturan Presiden Perpres 93/2021 yang salah satu isinya pasal 4 menyebutkan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung didanai APBN. Tentu itu adalah kebohongan yang dilakukan Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden. Faktanya kemudian terjadi pembengkakan biaya pembangunan kereta cepat tersebut. Diketahui angka pembengkakannya pada akhir tahun 2022 dengan angka pembengkakan biaya mencapai 1,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 21,8 triliun. Biaya bengkak yang membebani APBN padahal janjinya tidak akan gunakan APBN apalagi membebani. Bohong apalagi dalam posisinya sebagai Presiden ? Pada tanggal 6 Mei 2019 di Istana Negara Jokowi pernah mengatakan bahwa pembangunan IKN tidak membebani atau menggunakan APBN tetapi pada tanggal 22 Februari 2022 Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden mengatakan akan menggunakan APBN untuk membangun kawasan inti IKN. Ini perbuatan bohong yang dilakukan secara sadar dalam posisinya sebagai Presiden. Bohong apalagi? Pada tanggal 30 November 2021, Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden mengatakan "kita tahu bahwa tahun ini tahun 2021 sampai hari ini kita belum melakukan impor beras sama sekali dan kenyataannya stok kita masih pada posisi yang sangat baik". Pernyataan tersebut bohong, sebab data BPS tahun 2021 menunjukan Indonesia impor beras 242 ribu ton 110 juta dolar AS. Bohong apalagi? Pada tanggal 2 Agustus 2022 Jokowi mengatakan bahwa angka subsidi BBM sudah mencapai Rp 502 triliun. Ternyata realisasi hingga Juli 2022 hanya Rp 88 triliun untuk subsidi BBM, elpiji, dan listrik. Data itu menunjukan Jokowi bohongi rakyat, dengan alasan subsidi BBM telah mencapai Rp 502 Triliun itulah lalu Jokowi menaikan harga BBM saat itu. Soal bohong ini belum semuanya diungkap tetapi secara empirik sejumlah data diatas menunjukan bukti bahwa Jokowi berkali-kali berbohong. Semua ahli bahasa, ahli hukum dan ahli agama dari beragam mazhab telah menegaskan bahwa berbohong adalah perbuatan tercela. Pertanyaanya kemudian apakah DPR/DPD /MPR akan membiarkan Presiden yang sering berbohong ini? Sangat berbahaya bagi masa depan republik ini jika Presiden sering berbohong lalu dibiarkan. Perbuatan tercela itu dilakukan dalam posisinya sebagai Presiden. Jika dibiarkan akan menjadi preseden yang sangat buruk bagi generasi muda bahwa berbohong tidak apa-apa karena Presiden saja sering berbohong dibiarkan. Ini negara bisa semakin berantakan karena dampaknya berupa kebijakan yang tidak tepat. Lebih dari itu yang sangat dirugikan dari kebohongan Presiden adalah rakyat banyak yang menanggung beban kenaikan harga BBM, kenaikan harga-harga barang, dan beban APBN yang berat dari pembangunan kereta cepat dan IKN, utang negara terus membengkak. Itu semua buah dari kebijakan yang berbasis kebohongan. Kalau terang-terangan melakukan perbuatan tercela berkali-kali dan merugikan rakyat banyak lalu tidak mundur bahkan membiarkan dan mendorong wacana perpanjangan masa jabatan, ini saatnya DPR berpihak kepada rakyat untuk mengambil sikap tegas, jika tidak saya khawatir rakyat yang akan bersikap dengan caranya sendiri. Wallahua`lam.

apabila melanggar uud 1945 presiden ri dapat diberhentikan oleh